Jumat, 26 April 2013


PERAN WORLD FOOD PROGRAM
TERHADAP KETAHANAN PANGAN INDONESIA

A.    Latar Belakang
            Hubungan internasional adalah hubungan antarbangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Hubungan internasional ini mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ekonomi dan lingkungan hidup merupakan salah satu isu-isu Hubungan Internasional yang mendapat perhatian lebih oleh para aktor Hubungan Internasional.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya krisis finansial telah terjadi di berbagai belahan dunia. Di awal tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram bagi dunia. Hal ini dikarenakan krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu oleh krisis subprime mortgage (terjadi akibat macetnya kredit properti) pada medio 2006 tampaknya akan terus berlanjut. Krisis telah mengunci miliaran rakyat miskin di dunia dalam kesengsaraan, kekerasan dan perang, wabah penyakit, dan keterbelakangan budaya[1]. Dampak dari krisis finansial ini adalah terjadinya inflasi ekonomi terutama terhadap bahan pangan. Tingginya tingkat inflasi yang tidak menentu tersebut akhirnya mengakibatkan krisis pangan.
Selain itu, kondisi lingkungan hidup secara global saat ini sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Seperti yang kita ketahui bahwasannya kondisi alam saat ini tidak lagi stabil dibanding dahulu kala dan hal ini sangat berkaitan erat dengan aktivitas negatif manusia di berbagai belahan dunia dalam mengeksploitasi kekayaan alam secara ekstrim. Hal ini telah membuat alam menunjukan kehebatannya pada manusia. Akibat berbagai aktivitas negatif manusia tadi, terjadi bencana alam dimana-mana yang memakan banyak korban.
Kerusakan lingkungan hidup ini dimulai dari maraknya pengerusakan hutan yaitu melalui penebangan secara liar, sistem perdagangan berpindah, semakin luasnya pemukiman penduduk, pengalihan fungsi hutan/lahan menjadi kawasan perindustrian, pertambangan dan perumahan. Kerusakan lingkungan hidup ini justru banyak dilakukan oleh pihak pengusaha (private) ataupun investor yang ingin memperbanyak kekayaannya pada suatu daerah tertentu melalui pembukaan pabrik-pabrik ataupun perumahan di kawasan hutan dan lahan pertanian masyarakat. Banyaknya pengalihan fungsi lahan mengakibatkan luas lahan untuk pertanian dan perkebunan semakin sedikit. Tidak heran bila bencana kelaparan pun terjadi dimana-mana dan nantinya akan diikuti dengan krisis pangan.
Di samping itu, pertambahan jumlah penduduk yang terjadi secara terus menerus di dunia hampir mencapai 7 miliar jiwa mengancam keterbelangsungan hidup manusia. Bertambahnya penduduk secara signifikan ini menyebabkan ketersediaan pangan di dunia termasuk Indonesia semakin menipis dan tidak mustahil jika dunia nanti salah satunya Indonesia, akan mengalami krisis pangan dan berakibat bahaya kelaparan mengintai diseluruh antero negeri.
Banyak hal yang menyebabkan krisis pangan terjadi antara lain adalah pertambahan penduduk yang semakin banyak, kerusakan lingkungan dimana-mana, konversi lahan dan penurunan kualitas lahan pertanian, tingginya bahan bakar fosil, pemanasan global dan perubahan iklim, kebijakan lembaga keuangan internasional dan negara maju, serta regulasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian turut menjadi penyebab krisis pangan terjadi nantinya.
Akibat atas krisis dan kelangkaan pangan dunia juga semakin diperparah dengan tindakan beberapa negara produsen pangan utamanya padi yang membatasi bahkan menghentikan permintaan impor dari negara lain. Sampai dengan akhir Maret 2008, sebagaimana dilaporkan FAO, telah terjadi krisis pangan yang sangat serius di 36 negara dan 21 negara diataranya merupakan negara di benua Afrika yang merasakan dampak paling serius bahkan menyebabkan terjadinya kelaparan kronis dan beberapa kasus kematian (Mukti Aji, 2009).
Indonesia merupakan salah satu negara yang mulai mengalami krisis pangan. Namun, menilik bahwa Indonesia negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, sangatlah tidak mungkin bila Indonesia mengalami krisis pangan. Krisis pangan di Indonesia lebih merupakan dampak dari kebijakan pemerintah mengenai hasil pangan.
Sejalan dengan adanya krisis pangan dan krisis keuangan yang telah melanda berbagai benua saat ini seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa yang terkena krisis finansial, di samping ancaman krisis pangan yang tengah terjadi di benua Afrika. Maka Organisasi Pangan Sedunia (FAO/ Food and  Agriculture Organization), dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-31 tahun 2011,  mengingatkan kembali bahwa perwujudan ketahanan pangan dunia adalah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan bagi keberlanjutan peradaban manusia (Tabloid Sinar Tani, 2011)[2].
Dalam mengurangi dampak dari adanya krisis pangan ini, banyak badan-badan dan organisasi dunia yang memberikan bantuan, salah satunya adalah WFP. Badan ini merupakan organisasi bantuan program bersama (joint programme) yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan FAO pada tahun 1963. WFP merupakan organisasi PBB yang pertama mengadopsi suatu pernyataan misi yang diutamakan untuk mengurangi kelaparan global dan kemiskinan. Misi dari WFP adalah menyediakan bantuan pangan apabila dalam keadaan darurat dan mendukung pembangunan sosial dan ekonomi[3].

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada penjabaran singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa krisis finansial, pertambahan penduduk yang semakin banyak, kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa ini diikuti dengan krisis pangan. Hal ini melatarbelakangi negara-negara di berbagai belahan dunia mulai memikirkan ketahanan pangan di negara masing-masing. Pangan merupakan kebutuhan primer setiap individu bahkan setiap negara. Untuk itu, makalah ini akan membahas peran“World Food Programme terkait ketahanan pangan di Indonesia”. Berikut merupakan rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini.
  1.       Apa sajakah penyebab terjadinya krisis pangan di Indonesia?
  2.       Apa sajakah dampak terjadinya krisis pangan di Indonesia?
  3.       Bagaimanakah peran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia?
  4.       Apa sajakah hambatan WFP dalam menerapkan ketahanan pangan di Indonesia?

C.  Sebab Terjadinya Krisis Pangan di Indonesia
Krisis pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Gejala krisis pangan ditandai dengan kelangkaan  stok dan melambungnya harga pangan. Kelangkaan stok tersebut telah menyulut berbagai gejolak dan keresahan sosial.Berikut merupakan sebab terjadinya krisis pangan di Indonesia.
1.      Pertambahan jumlah penduduk
Bertambahnya populasi penduduk di Indonesia dikarenakan banyak sekali faktor diantaranya adalah pelaksanaan  program Keluarga Berencana (KB) yang semakin lemah. Hal ini terlihat pada ketersediaan petugas lapangan Keluarga Berencana hanya 24ribu orang dengan ideal untuk Indonesia sebanyak  41ribu orang. Akibatnya, populasi penduduk Indonesia tahun 1920 tercatat sebanyak 49,3 Juta jiwa, dan pada tahun 1960-an penduduk Indonesia mencapai 90juta jiwa. Terlihat bahwa dalam kurun waktu 30 tahun angka penduduk Indonesia berlipat ganda.Selain itu, pertambahan populasi penduduk Indonesia kembali melonjak tajam pada abad 21 sebanyak 237,6 juta jiwa berkisar pertambahannya 30 juta jiwa per sepuluh tahun[4].
2.      Kerusakan lingkungan
Kerusakan lingkungan dalam hal ini terkait dengan kerusakan lahan pertanian.Hal ini terjadi sebagai hasil dari kebijakan pembangunan pertanian yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).Selama ini petani didera oleh kebijakan peningkatan produktifitas pertanian melalui penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi dan organik.Penggunaan pupuk dan obat-obatan yang seperti itu, bukan hanya menciptakan ketergantungan, melainkan juga merusak lahan pertanian[5]. 
3.      Konversi lahan dan penuruan kualitas lahan pertanian
Konversi lahan terkait dengan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman atau industri, merupakan ancaman bagi ketersediaan pangan. Berdasar catatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian subur mencapai 30.000 hektar setiap tahunnya, sebagian besar adalah lahan sawah yang beirigasi teknis, dan kebanyakan terjadi di Jawa (Hira Jhamtani, 2007). Sementara menurut Agus Susewo, Kasubdit Optimasi Lahan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Republik Indonesia, alih fungsi lahan pertanian mencapai 110 ribu hektar per tahun (Aksarasahaja, 2011). Berikut ini merupakan data konversi lahan produktif (Ferry Agusta, 2011)[6].
  1. Lahan pertanian yang tersedia  sekitar 7,7 juta hektar. (kebutuhan 11-15 juta hektar).
  2. Kecepatan konversi lahan pertanian 100-110 ribu hektar / tahun.
  3. Produksi per hektar 4,6 ton
  4. Potensi kehilangan produksi padi 506.000 ton / tahun 
4.      Tingginya harga bahan bakar fosil
Melambungnya harga bahan bakar fosil yang disebabkan oleh menipisnya ketersediaan bahan bakar fosil, berdampak pada penurunan produksi pangan.Saat ini, telah banyak penemuan terkait pengalihan penggunaan bahan pangan menjadi bahan bakar organik atau biofuel.Pengalihan ini menyebabkan penuruuanan jumlah produksi pangan untuk konsumsi yang berakibat pada terjadinya krisis pangan.
5.      Pemanasan global dan perubahan iklim
Perubahan iklim yang ekstrim sebagai akibat dari pemanasan global, memberi andil besar bagi peluang tercipannya gagal panen, dan puso.Pada masa peralihan iklim petani kebingungan untuk memulai awal masa tanam.Ada kalanya petani pro aktif memulai masa tanam setelah mendapat guyuran hujan satu atau dua minggu, namun terkadang setelah selesai menanam bibit, ternyata hujan tidak turun lagi.Akibatnya bibit tidak dapat tumbuh dan mati.
Ancaman lain dari perubahan iklim yang ekstrim adalah musim hujan dan kemarau yang menjadi semakin panjang. Hujan yang turun dengan intensitas tinggi, frekuensi sering, serta periode musim yang panjang, berpotensi membawa banjir yang akan menggenangi dan merusak lahan pertanian, berikut fasilitas infrastrukturnya. Sedangkan musim kemarau panjang akan membawa dampak kekeringan, yang berpotensi mematikan segala tumbuhan pangan jika tidak mendapat intervensi.
6.      Regulasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian
Salah satu kebijakan pemerintah yang sangat meresahkan petani-petani Indonesia adalah impor pangan.Berikut merupakan faktor perangsang kebijakan impor pangan menurut Kiki Rizkiyah (2011)[7].
·         Kebutuhan dalam negeri yang amat besar
·         Harga di pasar international yang rendah
·         Produksi dalam negeri yang tidak mencukupi,
·         Adanya bantuan kredit impor dari negara Eksportir.

Terkait dengan impor pngan khususnya impor beras, dapat kita ketahui bahwa beras impor lebih murah dari beras lokal. Dari sinilah permintaan masyarakat nasional akan beras impor terus meningkat lepas tanpa beban yang petani lokal mulai tergusur dengan kedatanngan beras impor. Otomatis  para petani menjual tanah atau ladang persawahan milik mereka. Oleh karena itu, tanpa disadari dari penjualan lahan pertanian maupun ladang berimbas semakin berkuranganya lahan pertanian yang ada di Indonesia.Disamping beras, ada beberapa komoditas pangan yang masih dimpor dan terus berlangsung, yaitu[8]:
No
Nama Komoditas
Kebutuhan / Tahun
1
Beras
2 juta ton
2
Kedelai
1,2 juta ton
3
Gandum
5 juta ton
4
Kacang Tanah
800 ribu ton
5
Kacang Hijau
300 ribu ton
6
Gaplek
900 ribu ton
7
Sapi
600 ribu ekor
8
Susu
964 ribu ton (70 %)



Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa Indonesia memang masih tergantung pada impor pangan. Hal ini akan berdampak pada kemandirian Indonesia dalam penyediaan bahan pangan bagi penduduknya sendiri. Untuk itu, disini pemerintah harus lebih mampu menyikapi dalam pembuatan kebijakan terkait impor pangan.

D.    Dampak Terjadinya Krisis Pangan di Indonesia
Ancaman krisis pangan global, antara lain ditandai dengan kelangkaan dan kenaikan harga, semakin nyata dalam satu dekade mendatang karena laju pertumbuhan penduduk dunia tidak bisa diimbangi dengan pertumbuhan lahan pertanian pangan. Untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis pangan ini, pemerintah sejak kini harus bersiap mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada pasokan negara lain. Apalagi, seperti yang banyak diberitakan di berbagai media nasional bahwasannya krisis ketahanan pangan yang diprediksi oleh pemerintah bakal terjadi tahun 2017, sebenarnya mulai mengancam bangsa yang dulu dikenal berhasil melakukan swasembada.
Adapun dampak dari krisis pangan yang mulai dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia yaitu meningkatnya harga-harga bahan pangan khususnya harga sembako di hampir seluruh pasar tradisional di Indonesia, dan hal ini semakin menyengsarakan masyarakat kecil. Seperti yang dikatakan oleh  metronews (5 Februari 2011) bahwa[9]:
“Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingginya harga bahan pangan sekarang ini. Dalam tiga pekan terakhir, harga beras naik 12,36 persen menjadi Rp 7.500 per kilogram. Minyak goreng curah naik 17,89 persen menjadi Rp 9.441 per kilogram, dan tepung terigu naik 0,36 persen menjadi Rp 7.606 per kg. Sementara itu, untuk pertama kalinya di Indonesia cabai rawit merah dijual Rp 100 ribu per kilogram.”

Faktor penyebabnya sangat kompleks. Namun, bila ditarik benang merah, hampir bisa dipastikan bahwa pangkal persoalan adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap sektor pertanian sehingga terjadi pembusukan di segala lini. Dengan kenaikan harga ini, banyak masyarakat miskin yang tidak mampu membeli bahan-bahan pangan tersebut sehingga mereka pun mengalami kelaparan. Ketika banyak masyarakat yang semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, otomatis masyarakat tersebut akan kekurangan gizi seperti yang umumnya menyerang anak-anak kecil. Dan yang lebih parahnya lagi adalah terdapat penduduk yang meninggal dunia.

E.     Peran World Food Programme (WFP) terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 mengatakan bahwa “ketahanan pangan diwujudkan bersama oleh masyarakat dan pemerintah dan dikembangkan mulai tingkat rumah tangga”. Apabila setiap rumah tangga Indonesia sudah mencapai tahapan ketahanan pangan, maka secara otomatis ketahanan pangan masyarakat, daerah dan nasional akan tercapai. Untuk itu, guna menciptakan ketahanan pangan di Indonesia, maka Indonesia meminta bantuan kepada WFP.
World Food Programme (WFP) adalah bantuan makanan cabang PBB , dan terbesar di dunia kemanusiaan organisasi mengatasi kelaparan di seluruh dunia. WFP menyediakan makanan, rata-rata, untuk 90 juta orang per tahun, 58 juta di antaranya adalah anak-anak.Ini adalah anggota dari Grup United Nations Development dan bagian dari Komite Eksekutif. WFP diatur oleh sebuah Dewan Eksekutif yang terdiri dari perwakilan dari 36 negara anggota.Josette Sheeran adalah Direktur Eksekutif saat ini, ditunjuk bersama oleh Sekretaris Jenderal PBB dan Direktur Jenderal FAO untuk jangka waktu lima tahun dan mengepalai Sekretariat WFP.
WFP berusaha untuk memberantas kelaparan dan malnutrisi , dengan tujuan akhir dalam pikiran menghilangkan kebutuhan untuk bantuan makanan itu sendiri. Strategi inti di belakang kegiatan WFP, menurut pernyataan misinya, adalah untuk memberikan bantuan pangan untuk[10]:
  1. Menyelamatkan kehidupan di pengungsian dan situasi darurat lainnya.
  2. Meningkatkan gizi dan kualitas hidup masyarakat yang paling rentan pada saat-saat kritis dalam kehidupan mereka.
  3. Membantu membangun aset dan mempromosikan kemandirian orang miskin dan masyarakat, khususnya melalui program padat karya karya.
Bantuan pangan WFP terkait dengan ketahanan panganyang ditujukan untuk memerangi defisiensi mikronutrien, mengurangi angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan memerangi penyakit, termasuk HIV dan AIDS, serta program padat karya membantu meningkatkan stabilitas lingkungan hidup dan ekonomi serta produksi  pertanian. WFP memperoleh dana dari donasi pemerintah negara-negara di dunia, perusahaan, dan donor pribadi. Selain itu, ada pula makananmembantu meningkatkan stabilitas lingkungan dan ekonomi dan produksi pertanian[11].
Program bantuan WFP di Indonesia pada awalnya difokuskan pada bantuan pangan bagi masyarakat miskin perkotaan dan masyarakat yang terkena dampak bencana dan konflik sosial. Saat ini, program bantuan WFP yang dikoordinasikan oleh Menko Kesra, difokuskan pada bantuan pangan bagi korban bencana dan perbaikan nutrisi bagi ibu hamil dan menyusui, anak balita, dan penderita TBS.
Salah satu contoh bantuan WFP di Indonesia adalah pada saat Indonesia mengalami bencana Tsunami dan masa pemulihannya di Aceh dan Nias pada periode 2005-2008 yang bernilai lebih dari US$ 88 juta melalui bantuan pangan dan penguatan kapasitas. Pada tahun 2009, kegiatan WFP tetap difokuskan untuk wilayah timur Indonesia dan pedesaan. Program pada tahun 2009 tersebut mencakup bantuan pangan untuk anak sekolah; perbaikan gizi melalui Posyandu; dukungan pangan untuk penderita TB; pembangunan infrastruktur dasar masyarakat; dan kegiatan pengembangan kapasitas. Pada tahun 2008 yang lalu, tercatat sebanyak 1,145 juta jiwa mendapatkan manfaat dari bantuan pangan dan gizi WFP.
Berdasarkan laporan dari WFP, Indonesia dinilai WFP tidak lagi dikategorikan sebagai donor dan "recipient" seiring meningkatnya status ekonomi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah (low middle income country). Selanjutnya, menurut Menko Kesra Agung Laksono terkait dengan laporan WFP bahwa “WFP diharapkan untuk melaksanakan program penguatan ketahanan pangan di sejumlah provinsi Indonesia, meningkatkan manajemen penguatan program beras untuk rakyat miskin (raskin), serta memperkuat sistem logistik dari Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana di Indonesia.”[12]
Sehingga untuk ke depannya, WFP akan melibatkan berbagai negara untuk berkontribusi menjadi negara donor. Tidak saja negara maju tetapi juga negara berkembang, karena kebijakan WFP ke depan adalah bahwa negara yang berkontribusi (sebagai negara donor) tidak berarti menutup kemungkinan untuk mendapatkan bantuan (sebagai negara penerima). Oleh karena itu, seiring dengan semakin meningkatnya pembangunan Indonesia khususnya di sektor ketahanan pangan, maka ke depan perlu adanya kajian untuk peningkatan peranan Indonesia di organisasi ini.

F.     Hambatan World Food Programme (WFP) terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia
Walaupun bantuan yang diberikan WFP untuk Indonesia merupakan atas permintaan dari pemerintah Indonesia, bukan berarti tanpa hambatan sama sekali. Terdapat beberap hal yang menjadi penghambat bagi WFP dalam menjalankan perannya di Indonesia.
1.   Terbatasnya infrastruktur WFP
Infrastruktur merupakan point penting dalam penyaluran dan pemerataan pangan di seluruh wilayah Indonesia.Apalagi Indonesia memiliki wilayah sangat luas.Selain penyaluran dan pemerataan pangan, terbatasnya infrastruktur juga terkait dengan pengiriman bantuan ke daerah bencana dimana daerah yang terkena bencana sulit untuk diakses. Saat bantuan yang dikirimkan dalam bentuk bahan pangan, jika terlalu lama dijalan karena terbatasnya infrastruktur maka bahan makanan yang dibawa akan membusuk di jalan.
2.   Kurangnya koordinasi antara WFP dan pemerintah Indonesia
Kurangnya koordinasi ini terkait dengan penyaluran beras oleh pihak WFP ke Indonesia.Selama ini WFP membantu pemerintah Indonesia menyediakan pangan yang sifatnya hibah, dan bukan pinjaman.Ketika Indonesia dinilai sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri, WFP pun menghentikan bantuannya.Namun, ketika Indoensia diserang krisis dan meminta bantuan lagi kepada WFP untuk menangani rakyat miskin yang tidak dapat jatah beras murah dari pemerintah.Namun, karena kurangnya koordinasi antara pemerintah Indonesia sehingga bantuan dari WFP pun disegel dan diamankan oleh pihak Bulog.Hal ini lah yang pada akhirnya malah merugikan rakyat sendiri yang tidak mendapat bantuan pangan.

Kesimpulan
Krisis pangan merupakan salah satu isu penting yang sering diperbincangkan baik itu dikancah internasional maupun di negara kita sendiri. Krisis pangan merupakan suatu kondisi dimana kita tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri. Krisis pangan terjadi antara lain dikarenakan pertambahan penduduk yang semakin banyak, kerusakan lingkungan dimana-mana, konversi lahan dan penurunan kualitas lahan pertanian, tingginya bahan bakar fosil, pemanasan global dan perubahan iklim, kebijakan lembaga keuangan internasional dan negara maju, serta regulasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian
Untuk mengatasi krisis pangan dan menciptakan ketahanan pangan di Indonesia, maka Indonesia bekerja sama dengan World Food Programme (WFP). Kegiatan WFP umumnya difokuskan untuk wilayah timur Indonesia dan pedesaan yang jauh dari jangkauan pemerintah pusat. Peran WFP terhadap ketahanan pangan di Indonesia mencakup bantuan pangan untuk anak sekolah,perbaikan gizi melalui Posyandu, dukungan pangan untuk penderita TB, pembangunan infrastruktur dasar masyarakat, dan kegiatan pengembangan kapasitas.

Saran
Terkait dengan hambatan World Food Programme (WFP) terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.
1.      Pemerintah Indonesia harus membangun infrastruktur yang memadai. Hal ini terkait dengan pembangunan ekonomi, sosial, budaya, kesehatan bahkan dalam hal penyaluran bahan pangan ke seluruh wilayah Indonesia.
2.      Pemerintah Indonesia harus mampu menjalin koordinasi yang baik dengan organisasi internasional khususnya World Food Programme yang telah banyak membantu Indonesia dalam hal ketahanan pangan.





[1]Mukti Aji. 2009. Krisis Global Dan Dunia Pertanian Indonesia (http://mukti-aji.blogspot.com/), diakses pada tanggal 15 Januari 2012.

[2]Tabloid Sinar Tani.2011. Ketahanan Pangan Dunia untuk Keberlanjutan Peradaban Manusia (http://www.sinartani.com/komoditas/pangan/4838-ketahanan-pangan-dunia-untuk-keberlanjutan-peradaban-manusia.html), diakses pada tanggal 15 Januari 2012.

[3]Kerjasama World Food Program (WFP) dengan Indonesia.
(http://www.deptan.go.id/kln/Kegiatan%20lain/wfpdoc.htm), diakses pada tanggal 15 Januari 2012.
[4]Tribunnews.24 Desember 2011.Krisis Pangan Bakal Mengancam Indonesia 2017.(http://www.tribunnews.com/2011/12/24/krisis-pangan-bakal-mengancam-indonesia-2017), diakses pada tanggal 16 Januari 2012.
[5]Kerusakaan Lingkungan dan Krisis Pangan.15 Januari 2011.(http://aksarasahaja.wordpress.com/2011/01/15/kerusakan-lingkungan-dan-krisis-pangan/), diakses pada tanggal 16 Januari 2012.
[6] Ferry Agusta. 13 Juli 2011.Kedaulatan Pangan dan Krisis Pangan.
[7] Kiki Rizkiyah. 24 Maret 2011. Sektor Pertanian
(http://kikirizkiyah.wordpress.com/2011/03/24/sektor-pertanian/), diakses pada tanggal 16 Januari 2012.
[8] Yauri Tetanel. Persentase berjudul “Kedaulatan Pangan dan Nasib Pertanian Indonesia” (www.faperta.ugm.ac.id), diakses pada tanggal 16 Januari 2012.
[9] Perubahan Iklim dan Ancaman Krisis Pangan Dunia. 05 Febuari 2011. (http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/02/05/134/Perubahan-Iklim-dan-Ancaman-Krisis-Pangan-Dunia-), diakses pada tanggal 19 Januari 2011.
[10]Wikipedia. 2012. World Food Programme (http://en.wikipedia.org/wiki/World_Food_Programme), diakses pada tanggal 17 Januari 2012.
[11]Embassy of Indonesia. 2009. Sekilas Tentang World Food Programme (WFP), serta Kerjsama Indonesia dan WFP. (http://embassyofindonesia.it/testing-12/), diakses pada tanggal 17 Januari 2012.
[12]AntaraNews. Indonesia Diharapkan Perkuat Peran Ketahanan Pangan Dunia. (http://www.antaramaluku.com/print/937/indonesia-diharapkan-perkuat-peran-ketahanan-pangan-dunia), diakses pada tanggal 17 Januari 2012.

The proposal of having single currency system for the world.


In my opinion, a single currency like a world language, can improve communications around the globe. If the single currency system is implemented, it will eliminate the present problems of speculation, instability and uncertainty and will provide a strong foundation for the growing world economy. It will reduce a significant cost and risk of doing business internationally.
A single currency will also be an important step in promoting economic justice in the world, removing the advantage of a few favored countries whose currency is seen as stronger or more secure and preventing the poor from being hurt by the impacts of currency fluctuations. In the long run, such a step will do much to counteract the local harm that is sometimes induced by economic globalization by putting everyone, everywhere, on a more "level" economic playing field.
In addition, the single currency can maintain stable exchange rates between currencies. The instability in exchange rates between currencies creates difficulties for international trade and investment, for business planning, and for national economies, with impacts on prices and inflation. If a country opts for a fixed exchange rate, its monetary policy must defend that rate; if it chooses a managed float, it is open to speculative attacks. Central banks can intervene to defend their currency, but major currency crises today can quickly overwhelm national reserves and require emergency international assistance - assistance that in recent years has amounted to tens of billions of dollars.
A single currency must be accompanied by many other measures for integration and harmonization. It would require a strong and effective world monetary authority or central bank, working in the common interest and freed from political manipulation, to manage the world currency, regulate the money supply, and ensure adequate liquidity without inflation. The creation of such an institution would go hand in hand with the development of other mechanisms for global decision making aimed at building trust and consensus among the world's governments. Below are the supporting and inhibiting factors if the single currency system is applied in the world
The supporting factors:
  1.  Making the world economy will become more established, which means it can promote economic growth.
  2. Closer relations between countries so as to increase the volume of trafficking through exports and imports, in the absence of import duties.
  3.  Establish a capital market that is stronger and more stable.
  4.  Countries in debt.
  5. In the modern global market, it is very common for one country to borrow funds from another nation. As a result of the volatility in exchange rates, many creditor nations are concerned with the possibility of depreciation in the value of their loans due to a currency devaluation or crisis. For example, the United States and Japan have the highest national debts in the world and if their currencies were to depreciate in value then their debt would be worth less. While this would be beneficial to debtor nations, their creditors would essentially be losing money. A single currency system without exchange rate volatility would ease the fears of creditor nations and might even encourage more lending between nations.
  6. The creation of a single currency would virtually eliminate all of these costs and allow a free flow of money. The money saved from the elimination of transaction costs could be put into positive global needs, such as feeding the hungry or funding research to cure diseases.


The inhibiting factors:
  1.  Implicit in the introduction of a single currency system is the creation of a central authority to control its monetary policy. For instance, one country’s economy might be overheating and in desperate need of a tightening cycle in interest rates, while at the same time a different country on the other side of the world could be suffering through a terrible recession that would need a reduction in interest rates to stimulate the economy. Therefore, decision making at the central authority will be very difficult as it tries to balance the world economy as a whole at the expense of individual nations.
  2. If a single currency system were adopted, then the ability to use exchange rates as a “shock absorber” or as a business tactic would be lost, potentially damaging exporting nations.
  3.  The creation of a single currency will require the creation of a universal central bank to manage it. The bank will control the world’s interest rates and therefore, its leaders will have considerable influence over individual economies. In order for the bank to function properly, it must be a fully independent institution. If one country or even one continent were to have undue influence on the bank’s decisions then it will surely fail.
  4.  Application of the single currency system will eliminate identity of a country that usually can be known from its currency. As a result, many governments might oppose the adoption of a universal currency due to the undesired consequence of a decline in individual identity.

Does Renminbi become the new global currency?


The Chinese Renminbi – The New Global Currency

The world economy is already tripolar—comprising the US, EU, and Asia. There are three main international currency in global trade, that are US dollar, Euro, Renminbi. The US dollar maintained currency hegemony for 60 years mainly because no alternative asset was as attractive. And the euro has grown to become an international currency from being a simple consolidation of fragmented national currencies. The eurozone economy is roughly the same size as the US one and accounts for a larger share of world trade. The euro has emerged as a credible alternative to the dollar, and is a useful second reserve currency held by many of the world’s central banks. However, the future of the euro as the world’s next primary reserve currency—replacing the troubled US dollar, has been compounded by worsening financial crisis in the eurozone in recent years.
The obvious candidate for a new international currency is the Renminbi. With the China’s growing weight relative to the world economy, the nation that the Renminbi will become the key currency in Asia and holds promise to become a new international reserve currency over the long run is widely shared. In light of the PRC’s large and growing influence in the global economy. If it continues to maintain rapid growth, the People’s Republic of China (PRC) is set to overtake the US as the world’s largest economy within a few decades.
So, why is the USD can be international currency for 60 years?[1] First, it starting from the Bretton Woods agreement after World War 2; is using gold as a global standard of the currency. At that time, the state of world economies except the United States, devastated by war. This causes them to rely on loans granted by the United States. These loans are given in U.S. dollars. As collateral, the American-have got the gold from these countries. Thus, the American master of all the gold in the world would automatically and only the U.S. dollar whose value is backed by gold. The implication, any country to build foreign exchange reserves in U.S. dollars; Dollar reserves necessary for the concerned country's currency can be exchanged for dollars or gold.
Second, to become an international currency needs a strong owner, a powerful state. Therefore, it takes a country which has economic and political situation is stable, because as an international currency is needed the confidence of the world so the world use it. The U.S. dollar became the currency of the world believed, because the condition can be predicted that the country will be stable in the long run. Third, the US also had a small budget deficit and was transforming itself into a leading exporter; its level of debt was also relatively low in comparison to other countries.
However, many experts predict that dominance of US dollar will collapse or replaced. There are 10 reasons why the triumph of the US dollar as the currency of the world will end soon[2].
1.      China and Japan get rid of the dollar
China (the second largest economy in the world) and Japan (the third largest economy in the world) announced plans to promote the direct exchange of their currencies. This is an effort to cut costs for companies and increase bilateral trade.
2.      BRICs plan is using your own currency
BRICs group (Brazil, Russia, India, China, and South Africa) are promoting the use of their own national currencies instead of using U.S. dollars in trade with each other. News of the media in India said that five principal developing countries (BRICs) encourage greater economic momentum to their groups through the signing of two treaties to promote intra-BRICs trade in the fourth summit of their leaders in Jakarta.
3.      Exchange agreements with Russia and China
Russia and China have been using their own national currencies in trade with each other for over a year. The leaders of Russia and China strongly recommends the establishment of a new global currency for several years. Both countries seem determined to destroy the power of the dollar in international trade.
4.      Rising use of Yuan in Africa
Three years ago, China has become Africa's largest trading partner. China is now aggressively trying to expand the use of the Yuan or Renmimbi, the Chinese currency, the Dark Continent. 
5.      Agreement China- United Arab Emirate
China and the United Arab Emirates agreed to get rid of dollars and use their own currencies in oil transactions with each other. UAE is a small player, but this is clearly a threat to the petrodollar system.
6.      Iran
Iran became one of the most aggressive country away from the U.S. dollar in international trade. For example, India will use the gold to buy oil from Iran.
7.      Partnership of China and Saudi Arabia
Saudi Arabia and China work together to build a major new oil refinery in Saudi Arabia. The leaders of both countries have been aggressively working to expand trade between the two countries. China imported 1.39 million barrels of oil per day from Saudi Arabia in February, up 39 percent from a year earlier.
8.      United Nations encourages the formation of a new world currency
United Nation issued a report which openly calls for an alternative to the dollar as world currency. UN report says, "a new global reserve system" in which the U.S. no longer has dominance. "A new global reserve system can be created, which is no longer dependent on the U.S. dollar as the single major reserve currency."
9.      IMF proposes Bancor as the new currency
One document of IMF entitled "Reserve Accumulation and International Monetary Stability" published some time ago actually proposed a global currency future that is named "Bancor".
10.  Most of the world hate the united states
Global sentiment toward the United States shifted dramatically. Several decades ago the U.S. was one of the most beloved nation on Earth. But now they are one of the most hated nation.

Many predictions said that the triumph of the dollar will collapse, the Chinese government issued a policy to strengthen their currencies. China seems to have entered a new phase of economic activity in structural terms. China not only has a population now of nearly 1.4 billion, representing around 20% of the world’s population but, as of 2010, it generated nearly 14% of global added value (adjusted for purchasing power). The fact that the China exports a diverse mix of manufactured goods to virtually all countries reinforces the role of the Renminbi/Yuan as a medium of exchange. And growing China overseas investments further increases its influence on the world economy.
In addition, the China has achieved macroeconomic stability in recent years. Inflation has been low and stable, averaging 1.9% during 2000–09. Its fiscal balance has been healthy, with a deficit averaging 1.6% of GDP over the same period. The government places high priority on macroeconomic stability, and this bodes well for the Renminbi/Yuan as a store of value. Furthermore, at USD 3.2 trillion China also had the world’s largest foreign currency reserves as at the end of 2011. Of this amount, nearly USD 3 trillion has been accumulated in the last 10 years alone. In other words, China’s foreign currency reserves are rising by more than USD 14,000 per second.
Moreover, there are several strategies of China to make Renminbi as an international currency. In order to protect local industry from a sudden appreciation, the Chinese government is already allowing foreign investors to have controlled access to the Chinese currency, for example, through the issue of bonds denominated in RMB. The Chinese government’s stated objective of positioning Shanghai as an international financial centre by 2020 is also a sign that it has a strong interest in opening the market. China would further expand cross-border trade transactions in Yen throughout the country. Coupled with the country’s economic growth, this is likely to lead to steady long-term appreciation and to the liberalization of the Chinese currency.
In addition, China implemented liberalization of the Chinese currency. For example, Japan and China are seeking to establish direct trade between their respective currencies, bypassing the US Dollar. By buying RMB-denominated bonds (so-called “dim-sum” bonds), Brazil is also seeking to give Brazilian companies access to the Chinese capital market.
However, there are four major factors that determine the suitability of a currency for international currency status (Chinn and Frankel 2008). Is Renminbi/Yuan become the new global currency?[3] 
1.      Size of Output and Trade.
The relative size of a country's output and trade gives it a distinct advantage in having its currency used internationally. China shares in world GDP has also increased rapidly over the past decades, from 3.0% in 1973 to 7.1% in 2008.
2.      Financial Markets.
A country's financial market must be open, unrestricted, deep, and developed for its currency to attain international currency status. We use the foreign exchange turnover data from Chinn and Frankel (2008) to measure the size, depth, and development of financial centers. In addition, we use the index of capital account liberalization generated by Chinn and Ito (2008) to measure the degree of a country's openness to global financial markets. The index ranges from -1.81 to 2.54. While, China has maintained a higher index since the early 1990s (-1.13) from only -1.81 in the late 1980s, it is still very low relative to the indexes of the US and the eurozone, (2.54 and 1.73, respectively), implying greater use of restrictive policies.
3.      Confidence in the Value of the Currency.
A key requirement for an international currency is stability in its value. An international currency is more attractive to hold if there is an assurance that its value will not be depleted in the future. We use a country's inflation rate as the confidence measure of its currency. In the last 10 years, the mean of the China’s inflation rate has been lower than that for advanced economies.
4.      Network Externalities.
An international currency that is more widely used by others has higher value. There is a bias due to inertia in favor of currencies already used as international currencies. This suggests that changes in the determinants of reserve currency status are unlikely to lead to parallel changes in reserve currency share holdings in the short run.
The volume of cross-border trading denominated in RMB is evidence of the fact that it has already become a regional trading currency. This volume stood at 506 billion at the end of 2010. In the first three months of 2011, the volume of cross- border trade transactions denominated in RMB had already exceeded the volume for the full year 2010, meaning that the trading volume had quadrupled.  In addition, an offshore RMB interbank market was recently established in Hong Kong in order to encourage the use of the RMB as a global trading currency.

Bibliography
China Focus. 2012. The Chinese Renminbi – The New Global Currency.
Dobson, Wendy and Paul R. Masson. Will the Renminbi Become A World Currency. Edited version published in China Economic Review 20 (1, 2009): 124-135.


[1] Gito, Bung. 2011. Inilah Alasan Dollar Menjadi Mata Uang Internasional. Source on August 14, 2012 from: http://bunggito.blogspot.com/2011/11/inilah-alasan-dollar-menjadi-mata-uang.html
[2] Chandra, Bobby. 2012. Dominasi Dolar Bakal Runtuh, Ini Alasannya. Source on August 17, 2012, from http://www.tempo.co/read/news/2012/03/27/087392850/Dominasi-Dolar-Bakal-Runtuh-Ini-Alasannya.
[3] Jong-Wha Lee. 2010. Will the Renminbi Emerge as an International Reserve Currency? Asian Development Bank.